Belajar Jurnalistik

Membangun Sinergitas Kinerja  Profesionalisme Jurnalis dengan Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif[1]

Isep Ali Sandi[2]

 

A. Pendahuluan

Kemajuan perkembangan sains dan teknologi menuntut setiap orang untuk tetap mendapatkan informasi yang akurat cepat dan lugas. hal ini menjadikan setiap pekerjaan menjadi sebuah bentuk yang menuntut bagisetiap orrang untuk maju dan bergerak lebih cepat secara profesional. Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang profesional maka diperlukan sebuah kinerja para jurnalis yang profesional yang mengedepankan idelalisme serta independensi yang holistik dalam menjalankan tugas profesinya. Sehingga untuk itu keberadaan para jurnalis akan dianggap sebagai sebuah profesi yang mulia karena telah membantu memberikan arus informasi kepada setiap pengguna, konsumen maupun penikmat setiap sajian perusahaan media yang berada.

Perkembangan komunikasi di dunia saat ini sudah sangat pesat, hal ini juga yang mendorong berbagai perguruan tinggi membuka yang namanya fakultas komunikasi dan tidak sedikit juga lembaga-lembaga pendidikan yang sejenis kursus yang berlatar belakang komunikasi. Berangkat dari sana, jurnalistik hari ini juga terkadang hanya diartikan sempit, yakni penulis atau wartawan yang bekerja sebagai pencari berita, bahkan lebih parah lagi hanya meminta-minta uang saja. Padahal jauh dari itu, makna jurnalistik itu sangat luas dan mungkin bukan hanya para jurnalis berita saja, tapi juga penulis buku maupun para penyiar atau artis sekalipun itu termasuk kerja jurnalistik.

Lebih lanjut, fenomena juga ternyata terjadi dikalangan masyarakat terhadap buku atau karya jurnalistik yang berbentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat perkembangan terakhir dunia tulis menulis dan penerbitan saat ini. Tengoklah berbagai etalase ditoko-toko buku terbesar diberbagai kota di Indonesia. Dari ratusan buku yang dipajang disana, sebagain besar ditulis oleh orang-orang dengan latar belakang dan basic keilmuan yang beraneka ragam. Namun dari keanekaragaman tersebut dapat dilihat kecenderungan buku-buku fiksi maupun non fiksi dengan  tema sosial, psikologi dan manajemen, ternyata cenderung lebih diminati pembaca dan menjadi trend best seller dalam dunia penerbitan. Lain dari itu, masih banyak teman-teman kita yang sebenarnya berbakat dalam hal menulis tetapi mereka masih belum mempunyai kesepmatan pelajaran yang mendukung untuk hobinya tersebut, sehingga potensi yang dimiliki siswa tidak bisa di aktualisasikan karena hal yang tidak ada di sekolah. Harus diyakini juga, kalau perubahan peradaban itu akan dimulai oleh membaca dan menulis, dimana kita juga mengenal beberapa tokoh revolusioner di dunia ini yang bisa merubah dunia hanya dengan sebuah tulisan. Dan saat ini Negara kita masih belum bisa melakukan hal tersebut, padahal bila didukung dengan Sumber daya manusia yang mendukung bukan tidak mungkin Negara ini akan berubah menuju perbaikan dan itu diawali dengan para generasi mudanya yang sudah bisa menulis.

B. Sejarah Singkat Jurnalistik

Di Amerika Serikat, pendidikan jurnalisme sudah berkembang sejak tahun 1930-an. Tahun 1943, Schramm diberi kepercayaan untuk untuk memimpin School of Journalism di Iowa University. Pada waktu itu, jurnalisme masihlah satu ilmu terapan yang bicara mengenai how-to-do- it journalism dan program semacam ini tidak hanya terdapat di Iowa University tetapi berjumlah ratusan yang ada diseluruh Amerika (sekalipun tidak semuanya hanya bicara how-to-do it journalism tetapi ada juga yang sudah menekankan pentingnya penelitian dan telah memasukkan mata kuliah ilmu-ilmu sosial seperti sejarah pers, hukum dan manajemen ke dalam kurikulumnya yaitu di School of Journalism di University of Wisconsin, Madison yang dipimpin oleh Willard G Bleyer). Schramm punya ide bahwa sebaiknya mata kuliah ilmu-ilmu sosial juga diberikan bahkan Schramm mengusulkan agar didirikan program Ph.D di bidang komunikasi massa. Masalahnya adalah Schramm saat itu kekurangan dana untuk membiayai rencana-rencananya sehingga ia berpaling ke tempat lain yaitu University of Illinois. Di universitas itu Schramm mendapatkan posisi dalam inner circle of adviser. Ia lantas minta programnya di Iowa bisa direalisasikan di Illinois. Permintaannya dikabulkan dan berdirilah Institute of Communication Research dengan Schammm sebagai direkturnya.

Esensi dari lembaga ini adalah program doktor di bidang ilmu komunikasi yang bersifat interdisipliner dengan biaya besar untuk riset plus Schramm diangkat menjadi guru besar pertama Ilmu Komunikasi. Problem berikutnya adalah ketiadaan buku teks bagi Ilmu Komunikasi. Untuk mengatasinya, Schramm kemudian mengadakan konferensi dengan menjelaskan mengenai lembaga yang dipimpinnya dan program doktoral yang dijalankannya. Setelah itu beberapa forerunner seperti Lazarfeld, Hovland, Casey menyampaikan makalah mereka dalam konferensi itu.

Selanjutnya, makalah-makalah itu disunting dan diterbitkan dalam satu buku berjudul Communication in Modern Society yang menjadi buku teks pertama bagi Ilmu Komunikasi. Setelah itu, Schramm mengumpulkan lebih banyak artikel dan makalah dan menerbitkannya menjadi buku berjudul Mass Communication yang menggantikan buku pertama sebagai buku teks. Schramm kemudian berpikir bahwa lebih mudah untuk mendirikan bidang akademi baru di satu universitas swasta yang bergengsi. Oleh sebab itu ia pindah lagi ke Stanford University.

Memang saat itu Stanford belum termasuk universitas ranking kelas atas di Amerika Serikat, tetapi masuknya Schramm adalah juga demi meningkatkan ranking Stanford. Di Stanford, Schramm

memimpin Institute for Communication Research. Di Stanford, mudah sekali bagi Schramm untuk menggalang dana yang membuat ia semakin mudah mengembangkan bidang ilmu yang masih belia yaitu ilmu komunikasi (Budyatna, 2008: 172-175).  Selanjutnya, ilmu ini berkembang terus di Amerika Serikat sesuai dengan tuntutan zaman melahirkan banyak cabang. Tidak lagi hanya melulu membicarakan soal kepentingan perang atau pembangunan tetapi juga sudah mulai dimanfaatkan dalam praktek politik, bisnis, dan industri (M. Alwi Dahlan, 2008).

C. Jurnalisme Sebagai Profesi

Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.

Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi. Kewartawanan atau jurnalisme (berasal dari kata journal), artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari istilah bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.

Dalam mengelola suatu media, yang pertama harus kita benahi adalah perekrutan staf-staf redaksi, mulai dari pemimpin redaksi hingga bagian reporter. Soliditas semua staf sangat membantu kelancaran proses dan kegiatan publikasi/penerbitan. Keahlian masing-masing orang, akan mempermudah kerja tim. Begitu pula sebaliknya, sumber daya redaksi yang pas-pasan atau semi profesional menyulitkan pengelolaan dan proses-proses kegiatan tersebut. Terkadang, jika redaktur berkompeten hanya pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana, misalnya, maka semua tugas-tugas dilaksanakan oleh yang bersangkutan.  Kemampuan  yang kurang memadai dari jajaran redaksi, akan berakibat kurang kompak dalam bekerja dan saling mengandalkan. Apalagi jika kekurangmampuan itu ditambah dengan kemalasan.  Begitu pula dengan staf lainnya yang menangani periklanan, sirkulasi, percetakan, dll. Untuk itu, rekrutmen seluruh jajaran staf kemediaan, harus selektif dan tentu saja mengutamakan kompetensi. Selain itu, guna ter-ciptanya tenaga yang profesional, bisa ditempuh pelatihan-pelatihan yang bisa meningkatkan keterampilan.

Setiap profesi dapat dilaksanakan, dan diakui oleh yang lainnnya apabila memang terdapat payung hukum yang menaungi pekerjaan itu sendiri. Adapun dunia jurnalistik di Indonesia berkiblat pada kode etik profesi dan UU no 40 tahun 1999 tentang pers.

 

D. Sinergitas Kinerja Jurnalis, Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif dalam Membangun Daerah

Aktivitas utama dalam kewartawanan adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau yang sedang hangat (trend). Kewartawanan meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.

Saya tak hendak terjebak pada perdebatan kedua kubu tersebut. Hanya saja –sebagai orang yang ikut mengamati jalannya konferensi di Jogja tersebut– saya memperoleh kesan, bahwa kalangan pendidikan jurnalistik (dan jurnalisme) perlu melakukan akomodasi-akomodasi kebutuhan pasar industri yang terus bergerak cepat.

Pendekatan terhadap jurnalistik masa kini, memiliki paradigma yang berbeda ketimbang di masa dekade 70-an, 80-an, dan bahkan 90-an. Kecepatan perkembangan teknologi informasi, adalah faktor penting yang perlu diperhatikan para pengajar jurnalistik dewasa ini. Seorang jurnalis, misalnya, kini dituntut tak cuma bisa menulis dan menguasai bahasa asing. Melainkan juga mesti “melek teknologi”, syukur bisa menguasai 1 – 3 bahasa software dan atau program. Macam Adobe Premier, Photoshop, Corel Draw, dan HTML. Alhasil, output pendidikan jurnalistik pun semakin bernilai. Menyangkut core competence dari seorang calon jurnalis, bahan kajian menarik yang perlu memperoleh kebijakan dari para pengelola pendidikan jurnalistik di kampus-kampus. Saya pribadi cenderung memiliki preferensi untuk mengkonversi karya jurnalistik seorang mahasiswa sebagai prasyarat pembuatan tugas akhir alias skripsi.Agar capaian output lembaga pendidikan jurnalisme tak lagi semakin senjang dengan kebutuhan pasar industri.

Apabila di kaitkan dengan elemen dari triaspolitika yang digunakan dalam demokrasi di indonoseia umumnya khususnya Sukabumi sebagai tempat kita melakukan segala pembangunan maka posisi jurnalis kedepannya akan menjadi penompang serta menjadi pilar keempat yaitu menjadi wach-dog (atau yang terus mengamati serta dapat melaporkan segala hasil yang telah dicapai dari program-program yang dilaksanakan baik oleh yudikatif, eksekutif maupun legislative.

E. Penutup

Demikian penyampaian marteri ini saya buat semoga dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan refensi untuk terus mengkaji dan menggali ilmu komunikasi terutama ilmu jurnalistik.

 


[1] Bahan untuk Disampaikan pada tanggal 1 Oktober 2011 saat Diklat Jurnalistik yang dilaksanakan oleh Lingkar Kajian Putra-Putri Sukabumi (eL-KIPP’s) di Auditorium Kelurahan Cikondang Kecamatan Warudoyong Kota Sukabumi.

[2] Pelajar Kabupaten Sukabumi

Tinggalkan komentar